RIBA DAN BUNGA BANK Studi Pemikiran M. Quraish Shihab

RIBA DAN BUNGA BANK
Studi Pemikiran M. Quraish Shihab
Oleh :
Zumrotun Nazia
Mahasiswa Ekonomi Syariah UMM

A.    Pandangan Umum tentang Riba
Menurut bahasa riba berarti tingkat bunga atau melebih-melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan presentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba bermakna ziyadah (tambahan).dalam arti lain riba secara bahasa berarti tumbuh dan berkembang. Menurut istilah riba berarti mengambil ekstra pokok atau modal asset secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum masih ada benang merah yang menegaskan bhawa riba adalah mengambil tambahan, baik dalam transaksi dan pinjaman yang palasu atau bertentangan dengan prinsip islam.
Dalam islam, memilih riba atau keuntungan dalm bentuk riba pinjaman hukumnya haram. Hal ini ditekankan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 :” Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung untuk bagi hasil yang diperoleh dari system ini tidak sama dengan bunga bank konvensional. Karena menurut beberapa pendapat seperti MUI bunga termasuk riba. Pendapat para ahli fiqih berkaitan dengan pengertian riba, antara lain sebagai berikut. Menurut Al-Mali pengertian riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbagan menurut syara’, ketika berakad atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.
Menurut Abdul Rahman Al-Jaziri, pengertia riba adalah akad yang terjadi dengan pertukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat salah satunya.Pendapat lain dikemukakan oleh syeikh Muhammad Abduh bahwa pengertian riba adalah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.Perlu diketahui riba ini tidak hanya dilarang oleh agama Islam tetapi agama lain yaitu Hindu, Budha, Yunani, dan Kristen pun melarang perbuatan keji dan kotor ini. Sebagai contohnya, yaitu kristen pada perjanjian baru Injil Lukas ayat 34 menyebutkan:“Jika kamu menghutangi kepada orang yang kamu harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatanmu, tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu akan sangat banyak”.
B.     Posisi Bunga bank manurut M.Quraish Shihab
Menurut Quraish Shihab bunga yang dilarang hanya bunga yang berlipat ganda, adapun jika bunga yang wajar dan mendhalimi diperkenankan. Seperti pada lafadz “wa harrama al-riba”Bahwa huruf “al” menunjuk kepada sesuatu yang telah di sebut terdahulu. Sementara kalam allah disini telah di dahului dengan kalam yang lain tentang riba yang dijelaskan sebelumnya yaitu surat Ali-Imron : 130 “laa ta’kulur-riba ad’afan muda’afah” maka yang diharmkan riba yang berlipat ganda, adapun jika tidak berlipat ganda maka tidak dilarang. Untuk menjawab terhadap pendapat beliau, maka hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: kata “al” pada “al-bai’a” dan “ar-riba” memberi arti jenis, hal ini merupakan penggunaan kata aslinya. Allah tidak menyebut jual beli atau riba tertentu dalam firmanNya “wa ahalallahul-bai’a wa harramar-riba“ sehingga kata “al-bai’a“ dan “ar-riba“ merupakan lafad yang bersifat umum. Ia mengandung makna kebolehan setiap jenis jual beli dan mengharamkan semua jenis riba secara umum. Pengharaman jenis tertentu dari jual beli atau kebolehan jenis tertentu dari riba harus mendatangkan dalil lain.
Ayat tersebut berlaku secara umum di setiap jual beli dan riba. Dalil secara umum setiap jual beli adalah mubah, mencakup segala bentuk jual beli, sedangkan dalil secara umum tentang riba adalah haram, mencakup keseluruhan riba. Adapun dalil yang mengecualikan hukum jual beli tertentu, atau hukum riba tertentu dari hukum secara umum, hal tersebut merupakan dalil khusus. Berdasarkan hal ini pemahaman ayat tersebut adalah setiap jual beli itu mubah, tidak mengeluarkan jual beli dari kebolehannya kecuali ada dalil yang mengkhususkan, demikian pula setiap riba adalah haram kecuali dengan dalil khusus. Maka pembolehannya membutuhkan sebuah dalil. Sementara tidak ada dalil khusus yang mengeluarkan suatu jenis riba dari keharamannya.Seandainya riba dalam “wa harramar-riba“ adalah riba yang pernah disebut, maka riba yang disebut tidak hanya riba yang ada dalam surat Ali Imron saja, namun segala riba yang telah disebut dalam nash-nash syara’ baik dari Al Qur’an dan Hadis sebelumnya. Ayat dan Hadis telah datang menghukumi riba, hukum ini mencakup riba fadl, nasi’ah dan tidak terbatas pada riba yang berlipat ganda saja.
Selain itu, Firman Allah terakhir tentang riba, QS. 2:279 “Wa intubtum falakum ru-usu amwalikum“ menjelaskan tentang cara bertaubat bagi orang yang ingin kembali dari bertransaksi riba yaitu dengan membolehkan mengambil hutang pokoknya saja. Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap pendapat yang menyatakan bahwa riba yang haram hanya riba yang berlipat ganda saja, karena Allah telah mensyaratkan taubat dari mengambil riba dengan keharusan mengembalikan pokok hutangnya tanpa ada pertambahan sedikitpun. Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba. Demikianlah, Allah telah mengharamkan riba dengan nash Al Qur’an dari permulaan hingga ayat yang terakhir.Di sisi lain, menurut Mukhtar Yahya, surat Ali Imran: 130 tersebut tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya, yaitu Allah telah mengharamkan riba yang berlipat ganda, maka pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa untuk riba yang selain berlipat ganda adalah halal. Hujjah tersebut tidak sah, karena ayat tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya untuk diambil mafhum mukhalafahnya. Salah satu syarat tersebut yaitu: dalalah manthuq ayat bukan untuk menerangkan suatu kejadian khusus. Pada ayat ini, ketika Allah menyebukan “muda’afah ad’afan” hanyalah sekedar menerangkan kejadian khusus bagi orang Jahiliyah. Orang Jahiliyah yang menghutangkan bila telah sampai waktu pembayaran berkata kepada yang berutang: “Bayarlah hutangmu itu atau kalau belum ada pembayarannya, maka hutangmu menjadi bertambah”, demikian seterusnya sampai hutang itu menjadi berlipat ganda. Berikutnya, turunlah ayat tersebut di atas.
Ibn Jarir Thobari, dalam Kitab Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, yang dikutip Muh. Zuhri dalam buku Riba Dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif, ketika menanggapi ayat dalam Surat Ali Imron yang melarang bunga yang berlipat ganda, mengatakan bahwa:Dari Mujahid, katanya tentang riba yang dilarang oleh Allah, bahwa di kalangan orang Jahiliyah, orang yang berpiutang berkata kepada yang berhutang: “Ambillah ini, bayarlah nanti; tetapi ingat tambahan”. Yang berhutangpun mengambilnya dan membayar pada masa mendatang sesuai dengan permintaan tadi.Dari Qatadah, bahwa riba Jahiliyah adalah bila seseorang berhutang, karena tidak sanggup membayar pada masa yang disepakati, ia dikenakan tambahan atas hutang pokok untuk pelunasan berikutnya.
Riba pada masa jahiliyah dan bunga bank berbentuk sama, dimana harta terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Jika orang berhutang 100.000 rupiah, dengan bunga sekitar 10 % dari hutang, maka dengan perhitungan yang sederhana bagi orang yang berhutang harus membayar 10.000 dalam setiap tahun dan hutang pokok tetap, artinya hutang menjadi berlipat dari aslinya setiap 10 tahun. Terlebih pada bunga majemuk, yang memungkinkan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat-lipat.Dengan demikian, pelarangan mengambil riba secara berlipat ganda memberikan pemahaman bahwa ia merupakan larangan dari segala bentuk riba, baik yang pernah dilakukan orang Arab atau orang-orang sekarang. Pengharaman Allah terhadap riba adalah mencakup segala jenis riba baik nasi’ah, fadl, maupun riba yang berlipat ganda.Oleh karena itu penting sekali memahami kembali surat Ali Imran 130 secara cermat, mengaitkannya dengan spirit ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, demikian juga fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh.Memahami secara mendalam makna mafhum mukhalafah dalam pemahaman teks-teks Quran dan Sunnah, jenis-jenisnya, serta syarat-syarat pengambilan hukum dariapdanya.
Menurut Qardhawi ,dosa riba beberapa kali lipat dosa zina dapat dimaklumi karena zina biasanya terjadi akibat gejolak syahwat yang mendadak atau naluri yang spontan, yang terkadang tidak tertahankan oleh seseorang, sedangkan riba adalah maksiat yang terjadi dengan tingkat perencanaan yang matang, jleas dan terukur. Dosa riba tidak hanya berlaku bagi pemakaman riba saja, melainkan juga menjangkau para pembayar riba, penulis kontrak riba, dan dua orang saksinya, sebagaimana hadist yang di riwayatkan oleh H.R Muslim. Hadist-hadist shahih yang sharih itulah, menurut Qardhawi, yang menyiksa hati orang-orang islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah(persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan juga, bahwa masalah riba itu tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atua penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam system ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah SAW : “Sesungguhnya akan dating manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorang pun melainkan akan makan riba,barang siapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya.” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah) kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atua perusahaan yang mempraktikkan riba. Tetapi kerusakan system ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hnya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat islam.
Di akhir tulisan ini dapat kita tambahkan bahwa M. Quraih Syihab mempunyai pendekatan yang berbeda dengan ulama Ahli Fiqih, dalam merumuskan sebab pelarangan riba. Pendekatan ulama Ahli Fiqih lebih condong kepada makna tekstual ayat atau hadits, dimana setiap bentuk berlebihan dari jumlah hutang adalah riba yang diharamkan.Sementara pendekatan M. Quraish Syihab lebih menekankan pada pemahaman makna substansial dari ayat atau hadits, sehingga tidak setiap kelebihan dari jumlah hutang dinamakan riba. Tetapi kelebihan yang terdapat unsur  penganiayaan dan penindasan (dhulum).dan ternyata, pendekatan dari Quraish Syihab inilah yang sampai hari ini menjadi mainstream umat Islam di Indonesia.
C.    Gradualisasi Hijrah
Hijrah (perubahan) dari system riba ke skema Free Interest tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan shock pada Negara. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini di tempuh islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Menurut Qardhawi, setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya,lisannya,dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan system perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran islam. Disisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di Bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang non muslim seperti yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya Negara-negara islam akan semakin dikuasai oleh mereka. Terlepas dari semua itu, perlu juga di ingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan payment point, transfer, penitipan,dan sebagainya.
Oleh karena itu tidaklah mengapa seorang muslim menerima pekerjaan tersebut, meskipun hatinya tidak rela dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhoi agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia melakasankan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan tuhannya beserta umatnya sembari menanti pahala atas kebaikan niatnya. “sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan” (HR Bukhari) disamping itu perlu disadari oleh orang-orang yang sedang bekerja di bank dan lembaga non syariah untuk tidak melupakan kebutuhan hidupyang oleh para fuqaha di istilahkan telah mencapai tingkatan. Kondisi inilah yang meneybabkan seseorang menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebgaimana firman allah SWT : “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang” (Al-Baqarah : 173)[1]
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M.Quraish, membumikan Al-Quran, Bandung, Mizan, 1993.
Slamet aam, Ekonomi Islam Subtantif, LPPM, Bogor : 2009 , hlm 103-104




[1] Slamet aam, Ekonomi Islam Subtantif, LPPM, Bogor : 2009 , hlm 103-104

Comments

Popular posts from this blog

NABI MUHAMMAD DAN PELETAKAB DASAR-DASAR PERADABAN ISLAM SEJARAH PERADABAN ISLAM (SPI)

Fungsi gunung menurut Al-Qur'an dan Sains

Puisiku : putri kecil