Luqathah (barang temuan)
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam proses muammalah masih banyak orang yang tidak memperhatikan
kaidah dan hukum-hukum dari bermuammalah, karena mereka lebih condong kepada
sikap terburu-buru dan tidak mau tau itu yang menyebabkan kegiatan ekonomi kita
kurang berjalan dengan baik, karena pelaku ekonominya masih belum memahami
betapa pentingnya mempelajari hukum-hukum bermuammalah. Dalam makalah ini akan
membahas mengenai Luqathah atau barang temuan, yang mana luqathah sering
terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi, karena sikap manusia yang
cenderung tidak peduli dengan hal-hal semacam itu kita hampir melupakan
bagaimana dan seperti apa cara menangani barang temuan (luqathah).
Banyak sekali fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita
yang berhubungan dngan luqathah misalnya, seseorang menemukan dompet ataupun hp
tetapi mereka menyalahgunakan barang temuan tersebut yang seharusnya tidak
dianjurkan seperti itu.Untuk mengetahui dan mengantisipasi agar luqathah dapat
kita seleseikan dengan cara menurut kaidah hukum islam kami sedikit memberikan
pemaparan yang dapat dipelajari untuk bahan pertimbangan dalam menjalani
kehidupan di dunia yang kaffah ini dengan sebenar benarnya.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Luqathah (barang temuan)
2.
Dasar
Hukum Luqathah
3.
Rukun
dan Syarat Luqathah
4.
Macam-macam
barang temuan (Luqathah)
5.
Al-Ja’alah
6.
Penanganan
Barang
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Luqathah
Barang temuan dalam bahsa arab (bahasa fuqaha) disebut al-Luqathah,
menurut bahasa (etimologi) artinya ialah : sesuatu yang ditemukan atau
didapat. Sedangkan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri al-Luqathah ialah : nama
untuk sesuatu yang ditemukan. Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan
pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Luqathah adalah menemukan
barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya.[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan
al-luqathah sebagimana yang dita’rifkan oleh para ulama adalah sebagai berikut
:
a.
Muhammad
al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah
: sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang
menemukan tidak mengetahui mustahiqnya.
b.
Syaikh
Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairoh berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan al-luqathah ialah : sesuatu dai harta atau sesuatu yang secara khusus
semerbak ditemukan bukan di daerah harby, tidak terpelihara, dan tidak dilarang
karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut.
c.
Al-Imam
Taqiy al-Din Abi Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-luqathah menurut syara’ ialah
: pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau
dimilikinya setelah diumumkan.
d.
Syaikh
Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah :
sesuatu yang disia-siakan pemiliknya, baik karena jatuh, lupa, atau yang
seumpamanya.
e.
Idris
Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah sesuatu barang
yang ditemukan karena jatuh dari tangan pemiliknya dan yang menemukan tidak
mengetahui pemilik barang yang ditemukan.
Dari
definisi-definisi yang dijelaskan oleh para ulama, secara umum dapat diketahui
bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah memperoleh sesuatu yang
tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.[2]
Adapun menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqh Islam Luqathah yaitu
barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorangpun.[3]
2.
Dasar Hukum Luqathah
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada
kondisi tempat dan kemampuan penemuannya. Hukum pengambilan barang temuan
antara lain sebagai berikut.
a.
Sunat,
bagi orang yang percaya kepada dirinya,sanggup mengerjakan segala yang
bersangkutan dengan pemeliharaan kepada barang itu sebagaimana mestinya,tetapi
bila tidak diambil pun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang
sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
b.
Wajib,
yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya apabila orang tersebut
percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu
sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak
diambil akan hilang sia-sia atau diambil orang-orang yang tidak bertanggung
jawab.
c.
Makruh,
bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan
mampu memlihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda
tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh
untuk mengambil benda-benda tersebut.
d.
Haram,
bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya
sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu
memelihara harta tersebut sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil
benda-benda tersebut.[4]
e.
Jaiz atau Mubah, Jika luqathah
ditemukan dibumi tak bertuan atau dijalan yang tidak dimiliki seseorang atau di
selain tanah haram Mekkah. Didalam kasus semacam ini, seseorang diperkenankan
memilih antara memungut luqathah untuk dijaga dan dimiliknya setelah luqathah
diumumkan, atau membiarkannya. Namun lebih diutamakan memungut luqathah jika
dia percaya mampu menangani berbagai persoalan yang berkenaan dengan luqathah[5]
2.1
Hukum-hukum luqathah
“barang luqathah (barang-barang yang tercecer) harus terus menerus
setahun lamanya dicari orang pemiliknya dengan memberitahukan ada barang yang
kita temukan, terkecuali barang-barang yang tidak berharga dan pemiliknya tetap
berhak atas barang itu apabila ia mengambilnya. Dan apabila telah lampau
setahun ditangan yang menemukannya bolehlah yang mendapatkan itu menggunakannya
dan hendaklah dibayar (diganti) pabila yang mempunyai menghendaki demikian.
Jika sesudah lewat setahun yang mendapatkannya menyedekahkan, maka boleh si
pemilik meminta ganti dan boleh pula menerima pahalamdari hartanya yang telah
disedekahkan”
Hukum
ini disepakati para mujtahidin
“megambil
barang tercecer, disyar’iatkan walaupun hanay bersifat sunnah, bagi mereka yang
merasa dirinya aman”[6]
Dari As Syafi’i
ada beberapa pendapat lagi. Pertama mengambil dan menge,balikannya lebih afdal
daripada membiarkannya. Kedua mengambilnya wajib. Dari abu hanifah diperoleh
dua riwayat. Pertama, lebih baik mengambil. Kedua, lebih baik meninggalkannya.
Kata ahmad : meninggalkannya lebih afdlal.
“jikalau seseorang telah mengambilnya kemudian mengembalikan lagi
ketempat itu, dikenakanlah tanggungan atasnya”
Begini juga pendapat Imam Ahmad.
Kata Imam Abu hanifah : jika ia mengambil untuk dikembalikan kepada
pemiliknya, tidak dikenakan tanggungan. Kalau bukan demikian, dikenakan
tanggungan.
Kata Imam Malik : jika ia ambil dengan maksud menyimpannya kemudian
mengembalikannya lagi, dikenakan dlaman atasnya. Jika diambilnya sedang ia
masih ragu-ragu apakah diambil ataukah ditinggalkan, kemudian dikembalikan,
tidaklah ada tanggungan atasnya.
“luqathah yang diperoleh dalam batasan daerah Al-haram boleh
disimpan buat dikembalikan kepada pemiliknya dengan jalan memberitahukan bahwa
dia ada menemukan barang, selama ia masih bermukim dalam al haram, hendaklah
diserahkan kepada hakim, ia tidak boleh mengambil untuk pemilinya”
Begini juga pendapat Imam Ahmad.
Kata Imam Malik : hukum luqathah dalam daerah al haram dainnya sama
saja. Maka orang yang mendapati barang boleh mengambilnya atas dasar hukum
luqathah dan lalu ia memilikinya sesudah berlalu waktu yang ditentukan, dan
boleh ia mengambilnya untuk semata-mata ia menyimpannya. Pendapat ini sesuai
dengan pendapat abu hanifah.
1806 “apabila yang empunya telah setahun lamanya dicari, namun
tidak juga ditemukan, maka bolehlah bagi yang menemukan itu menahan terus
barang tersebut dan boleh baginya menyedekahkan dan boleh pula ia makan, baik ia
kaya ataupun papa.”
Begini juga pendapat Imam Malik
2.2 Hukum –hukum laqith
1810 “ anak buangan (laqith) yang ditemukan, didalam negara islam,
dia dihukum muslim.” Pendapat imam malik dan imam ahmad.
Kata abu hanifah : jika ia ditemukan didalam gereja, atau di dalam
sebuah rumah ibadah yahudi atau didalam desa orang-orang dzummah, dipandanglah
dzimmy.
1811 “apabila laqith ditemukan dalam negara islam, maka ia
dipandang merdeka lagi muslim. Jika sesudah sampai umur ia enggan memeluk
islam, tidaklah dapat dibenarkan kemaunnya dan hendaklah diterangkan
keburukan-keburukan kekafiran. Tetapi jika ia terus memegang pendapatnya, atau
kemauannya, dipandanglah ia seorang kafir”[7]
3.
Rukun dan Syarat Luqathah ada dua macam yaitu :
1.
Yang
mengambil, sekiranya yang mengambil orang yang tidak adil, hakim berhak
mencabut barang itu dari orang tersebut, dan memberikannya kepada orang yang
adil dan ahli. Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil hendaklah diurus
oleh walinya.
2.
Barang-dapat.
4
Macam-macam barang yang diperoleh
Terdapat
macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan
itu adalah sebagai berikut.
a.
Barang
yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah disimpan ditempat
yang layak dengan keadaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum
ditempat-tempat ramai dalam masa satu tahun pun hendaklah dikenal beberapa
sifat-sifat barang yang didapatnya itu, umpamanya tempatnya, tutupnya, ikatnya,
timbangannya, atau bilangannya. Sewaktu memberitahukannya hendaklah diterangkan
sebagian dari sifat-sifat itu jangan semuanya, agar jangan terambil oleh orang
yang tidak berhak.
b.
Barang
yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan.barang serupa ini yang
mengambil boleh memilih antara mempergunakan barang itu asal dia sanggup menggantinya
apabila bertemu dengan yang punya barang, atau ia jual, uangnya hendaklah ia
simpan agar kelak dapat diberikannya kepada yang punya apabila bertemu.
c.
Barang
yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat disimpan lama apabila
dibikin keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah
kepada yang empunya (dijual atau dibikin keju).
d.
Suatu
yang berhajat kepada nafakah yaitu binatang atau manusia seperti anak kecil
umpamanya. Tentang binatang ada dua macam :
pertama : binatang yang kuat berarti dapat
menjaga dirinya sendiri dari pada binatang yang buas seperti unta, kerbau,
kuda,binatang yang seperti ini lebih baik dibiarkan saja tidak usah diambil.
Kedua
: binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya daripada bahaya binatang yang
buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil, sesudah diambil ia harus
melakukan salah satu dari tiga cara :
a.
Disembelih
dan terus dimakan, dengan syarat ia sanggup membayar harganya apabila bertemu
dengan yang empunya
b.
Dijual
dan uangnya disimpan, agar dapat diberikannya kepada yang empunya.
c.
Dipelihara
dan diberi makan dengan secara menolong semata-mata.
Kalau barang
yang didapat itu barang yang besar atau berharga hendaklah diberitahukan dalam
masa satu tahun, tetapi kalau barang yang kecil-kecil (tidak begitu berharga)
cukup diberitahukan dalam masa sekira-kira yang kehilangan sudah tidak
mengharapkannya lagi.
Adapun apabila
yang didapat itu manusia,seperti anak kecil atau orang bodoh, maka wajib
kifayah atas muslimin mengambilmya dan menjaganya, begitu juga mendidiknya, dan
wajib ditinggalkan pada orang yang dipercayai serta bersifat adil. Belanjanya,
kalau ia ada membawa harta benda atau diketahui bahwa ia ada mempunyai harta
belanjanya diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi kalau dia tidak mempunyai
harta, belanjanya, diambilkan dari Baitulmal, kalau baitulmal teratur, kalau
tidak atas tanggungan umat islam yang mampu.[8]
5.
Al-Ja’alah
Bagi
seseorang yang kehilangan sesuatu yang berharga menurut pendapatnya, tentu akan
berupaya(berusaha) menemukan kembali benda-bendanya yang hilang. Salah satu
cara mencari benda-benda yang hilang dan boleh menurut para ulama adalah dengan
pengumuman, baik melalui media masa, radio, pamflet-pamflet, mauoun yang
lainnya. Pengumuman ini biasanya dibarengi dengan imbalan (diberikan imbalan)
bagi penemunya sebagai perangsang (daya tarik, umpamanya seseorang mengumumkan
melalui radio “Telah hilang satu buah dompet yang bersi Kartu Tanda Penduduk,
SIM, STNK motor dan kartu mahasiswa atas nama Ahmad sekitar pukul 13.00 antara
Pasar Ujung Berung dengan Kampus IAIN Bandung, bagi orang yang menemukannya
harap mengembalikannya kepada yang bersangkutan dengan alamat yang terdapat di
KTP atau kepada radio Sinta, bagi yang menemukan akan diberi imbalan
secukupnya.”
Al-Ja’alah boleh juga diartikan sebagai
sesuatu yang mesti diberikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya
terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, al-ja’alah dapat
diartikan pula sebagai upah mencari benda-benda yang hilang.[9]
6.
Penanganan Barang
Wajib bagi
orang yang menemukan sesuatu dan mengambilnya untuk mengamati tanda-tanda yang
membedakannya dengan benda-benda lainnya, baik berbentuk tempatnya atau
ikatannya, demikian pula yang berhubungan dengan jenis dan ukurannya, baik ditimbang,
ditakar, maupun diukur.
Penemu dan
pengambil barang yang ditemukan berkewajiban pula memelihara benda-benda
temuannya sebagaimana memelihara bendanya sendiri. Benda-benda yang ditemukan
tersebut sebagai wadi’ah, ia tidak berkewajiban menjamin apabila terjadi
kerusakan atau kecelakaan kecuali bila disengaja.
Setelah dua
kewajiban tersebut,dia juga berkewajiban mengumumkannya kepada masyarakatbdengan
berbagai cara, baik dengan pengeras suara, radio, televisi, surat kabar,
atau media massa lainnya. Cara
mengumumkannya tidak mesti setiap hari, tetapi boleh satu kali atau dua kali
dalam seminggu, kemudian sekali sebulan dan terakhir dua kali setahun.
Waktu-waktu
untuk mengumumkan berbeda-beda karena berbeda-beda pula benda yang ditemukan.
Jika benda yang ditemukan harganya 10 (sepuluh) dirham keatas, hendaklah masa
pemberutahuannya selama satu tahun, bila harga benda yang ditemukan kurang dari
harga tersebut, boleh diberitahukan selama tiga atau enam hari, sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tabhrani dari Ya’la itn Murrah berkata
bahwa Rasulullah Saw bersabda : “barang siapa yag memungut uatu barang
terscecer yang sedikit, misalnya seutas tali, satu dirham atau yang
seumpamanya, maka hendaklah diberitahukan selama tiga hari, jika selama itu
pemiliknya tidak datang, hendaklah disadaqahkan’’.
Mengenai barang
temuan yang berbentuk makanan tidak perlu diperkenalkan selama sau tahn, cukp
diperkenalkan selama diduga kuat adanya kemungkinan bahwa pemiliknya tidak lagi
menuntutnya. Penemu boleh memanfaatkan barang itu bila tidak diketahui
pemiliknya.
Dari Ali bin
Abi Thalib bahwa seseorang datang kepada nabi Saw. Membwa satu dinar uang yang
ia temukan dipasar, nabi Saw bersabda :
“perkenankanlah
selama tiga hari, lalu ia meletakkan dan tidak ada seorang pun yang mengaku,
kemudian Rasulullah Saw bersabda “Makanlah benda itu ‘’ (Dikeluarkan oleh
Abdurrazak).[10]
BAB
III
KESIMPULAN
Banyak yang
mengemukakan pengertian dari luqathah tetapi secara umum dapat diketahui bahwa
luqathah merupakan memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui
oleh pemiliknya dan hukum pengambilannya pun dapat berubah-ubah tergantung
kondisi dan tempat kemampuan penemunya. Benda-benda temuan juga banyak macamnya
baik itu benda tahan lama ataupun tidak,binatang, manusia, barang berharga dan
sebangsanaya.adapun proses penyelesaian luqathah banyak yang berbeda pendapat
anatara lain imam syafi’i imam al baihaqi , dan imam maliki.
PENUTUP
Alhamdulillah
kami ucapkan syukur kehadirat tuhan yang maha esa kita dapat menyelesaikan
makalah ini tepat waktu dan tidak ada kendala apapun. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan kita mengenai kegiatan muammalah
terutama masalah Luqathah.
Semoga dengan
ditulisnya makalah ini diharapkan kita semua dapat mengambil inti sari untuk
bermuammalah sesuai syariat islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah agar
kita selamat di dunia maupun diakhirat, karena proses muammalah sangat
berpengaruh di kehidupan kita yang setiap harinya selalu melakukan aktifitas
muammalah. Semoga allah senantiasa melindungi kita semua di dunia dan bahagia
di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi,Hendi .2011.Fiqh Muamalah, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Rasjid,
Sulaiman.1976.Fiqh Islam, Jakarta : Attahiriyah.
Zuhali, Wahbah.2010.Fiqih Imam Syafi’i jilid II ,Jakarta : PT Niaga
Swadaya.
M.Hasbi ,Teungku Ash.1997.hukum-hukum fiqh islam,Jakarta
: PT.Pustaka Rizki Purta.
Anwar, Moh.1988. Fiqih Islam,Subang
: PT Alma’arif.
[1] Moh. Anwar. Fiqih
Islam ( Subang : PT Alma’arif, 1988 ) hal. 79
[2] Hendi Suhendi,Fiqh
Muamalah,(PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2011),hlm 198-198
[3] Sulaiman
Rasjid,Fiqh Islam,(Attahiriyah : Jakarta,1976),hlm 316
[4] Sulaiman
Rasjid,Fiqh Islam,(Attahiriyah : Jakarta,1976),hlm 317-318
[5] Wahbah
Zuhali. Fiqih Imam Syafi’i jilid II ( PT Niaga Swadaya :Jakarta, 2010 )
hal. 402
[6] Teungku
M.Hasbi Ash,hukum-hukum fiqh islam,(PT.Pustaka Rizki Purta :Jakarta,
1997)hIm 438
[7]Teungku
M.Hasbi Ash,hukum-hukum fiqh islam,(PT.Pustaka Rizki Purta :Jakarta,
1997) Hlm 441.
[8] Sulaiman
Rasjid,Fiqh Islam,(Attahiriyah : Jakarta,1976),hlm 318.
[9] Hendi
Suhendi,Fiqh Muamalah,(PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2011),hlm
206-207.
[10] Hendi Suhendi,Fiqh
Muamalah,(PT Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2011),hlm 203-204
Comments
Post a Comment