“RELEVANSI BAI TAWARRUQ DALAM PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM”
KAPITA SELEKTA HUKUM EKONOMI ISLAM
“RELEVANSI BAI TAWARRUQ DALAM
PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM”
Oleh :
Zumrotun Nazia (201410510311069)
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN
AJARAN 2016-2017
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dewasa ini banyak perbincangan
terkait transaksi bai tawarruq dikalangan masyarakat, begitu pula dikalangan
ulama juga banyak yang mnegutarakan pendapat terkait legalitas maupun
relevansinya bai tawarruq jika di terapkan di Indonesia, sedangkan bai tawarruq
itu sendiri awal penerapannya di Malasya hingga saat ini baik yang ada di
lembaga keuangan maupun non keuangan.Secara etimologi kata tawarruq diartikan
daun. Dalam hal ini artinya adalah memperbanyak harta. Jadi tawarruq diartikan
sebagai kegiatan memperbanyak uang. Sedangkan secara istilah Ba’i tawarruq
adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang
menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan
kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir
dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi daripada harga
tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan
pembayaran tunda.
Beberapa pendapat yang ada
menjadikan bai tawarruq sulit diterapkan atau diterima dikalangan masyarakat,
tetapi bukan berarti tidak ada yang menerapkannya. Dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain bai tawarruq sebenarnya masyarakat bias saja
menggunakan transaksi lain yang sekiranya tidak menimbulkan pertentanagan. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
untuk memperjelas pembahasan dari para ulama jumhur dalam menentukan apakah bai tawarruq tersebut diijinkan untuk diterapkan
dalam pembiayaan Islam. Sejalan dengan latar belakang di atas, pendekatan
metodologis penulisan makalah ini bersifat kualitatif, dengan mengambil
substansi yang terkait dari ayat Al- Qur’an,
hadis Nabi Saw, pendapat para fukaha dari sejumlah mazhab, pendapat para
ahli masa kini, dan substansi dari akad
pembiayaan Islami. Penelitian ini dilakukan murni bersifat kepustakaan, dan
bahan yang digunakan hampir seluruhnya merupakan kutipan dari penulis yang
telah ada dalam ranah ekonomi dan pembiayaan Islam, ushul fiqih, fiqih klasik dan kotemporer beserta
pendapat para pakar terkait.
2. RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini antara lain :
1. Pengertian
bai tawarruq
2. Pandangan
tokoh klasik terhadap Bai Tawarruq
3. Hukum
transaksi bai tawarruq dan relevansinya pada ekonomi islam
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
bai tawarruq
Berdasarkan Qomuus Muhiith sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.
Ibrahim Fadhil Dabu dalam artikelnya yang berjudul Tawarruq, It’s Reality and Types,
kata tawarruq berasal dari kata kertas dan koin dirham yang terbuat dari perak
atau uang yang terbuat dari dirham. Jamak dari tawarruq adalah awraaq yaitu kertas yang berfungsi
menggantikan uang atau uang kertas. Sementara itu, Nibrahosen (2008)
menyatakan bahwa dalam Bahasa Arab, akar kata dari tawaruq adalah “wariq” yang
artinya : simbol atau karakter dari perak (silver). Kata tawarruq
ini di gunakan untuk mengartikan, mencari perak, sama dengan kata ta allum,yang
arti nya mencari ilmu, yaitu belajar atau sekolah. Kata tawarruq dapat di artikan dengan lebih luas
yaitu mencari uang tunai dengan berbagai cara yaitu bisa dengan mencari
perak, emas atau koin yang lainnya.
Sedangkan
secara istilah, Prof. Dr. Ibrahim Fadhil Dabu mengartikan tawarruq sebagai
suatu kegiatan dimana ketika seorang membeli suatu komoditi secara kredit
(angsuran) pada harga tertentu dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan
likuiditas (uang) kepada pihak lain (secara tunai) pada harga yang lebih rendah
dari harga asalnya. Jika orang tersebut menjualnya ke pihak penjual pertama,
maka hal tersebut menjadi tergolong transaksi terlarang yang disebut Al-Inah.
Adapun Nibrah Hosen secara literatur mengartikan istilah tawarruq adalah
sebagai berbagai cara yang di tempuh untuk mendapatkan uang tunai atau
likuditas. Istilah tawarruq ini di perkenalkan oleh Mazhab Hambali. Mazhab Shafi’i mengenal tawarruq dengan
sebutan “zarnagah”, yang artinya
bertambah atau berkembang. Masih menurut Nibra Hosen, dalam Hukum Islam, tawarruqartinya adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yatiu seorang yang membutuhkan
likuditas. Transaksi tawarruq adalah ketika seseorang
membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan
menjualnya kembali kepada orang ke tiga yang bukan pemilik pertama produk
tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah.[1]
2.
Pandangan
tokoh klasik terhadap Bai Tawarruq
Para Ulama klasik dari mazhab Hanafi, Shafi’i dan
Hanbali memandang tawarruq sebagai transaksi yang di perboleh kan secara legal.
Para Ulama kotemporer/modern juga memandang transaksi tawarruq di perboleh kan,
di antara para Ulama itu adalah Abdul Aziz Ibn Baz dan Muhammad ibn Salih al
–Uthaymin. Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari Bank - Bank syariah juga
mengizinkan transaksi tawarruq ini, termasuk DPS dari Al-Rajhi Bank dan Kuwait
Finance House. Islamic Fiqh Academy, yang beranggotakan negara negara Islam
yang tergabung dalam OKI pada konferensi tahunan nya sesi ke 15 di kota Mekkah,
telah mengeluarkan resolusi yang mendukung di perboleh kan nya transaksi
tawarruq, dengan syarat, pembeli tidak menjual kembali barang yang telah di
beli nya kepada penjual pertama dengan harga yang lebih rendah, langsung atau
tidak langsung, yang kalau terjadi, hal itu masuk dalam katagori transaksi yang
mengandung riba.
Para Ulama dari Mazhab Maliki tidak setuju dengan
penjualan barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar apabila di
lakukan oleh seseorang yang mengambil keuntungan pinjaman dengan cara yang
masuk dalam katagory Riba. Sebagian dari para Ulama mazhab Maliki mnyatakan
tidak setuju apa bila si penjual itu memperaktekan transaksi inah. Indikasi ini
tampak nya membuat Tawarruq adalah transaksi yang tidak di perkenan kan oleh
Mazhab Maliki. Umar Ibn Abdul ‘aziz and Muhammad Ibn –al Hasan, tidak setuju
dengan tawarruq. Ibnu Taymiyyah dari Mazhad Hanbali, dan murid nya Ibn al-Qayim
sangat tidak setuju dengan Tawarruq dan menyamakan dengan katagori Inah.
Sebagian dari Ulama Hanafi telah melarang transaksi ini dan menyamakan nya
dengan inah, namun sebagian lagi, seperti Ibn al-Humam, mengatakan kalau
Tawarruq tidak terlalu di senangi atau Khilaf al –awla.
Larangan terhadap transaksi Tawarruq ini sangat
erat kaitan nya dengan formasi spesific dari Tawarruq yang di praktek kan oleh
Lembaga Keuangan Syariah dan bukan dari praktek Tawarruq yang klasik (tawarruq
fighi). Yaitu Tawarruq Munazam atau Regulated Tawarruq. Islamic Fiqh Academy
Jeddah, pada sesi ke 17 konferensi tahunan nya, juga memandang bahwa Tawarruq
Munazam ini Illegal atau dilarang, seperti yang telah di praktek kan oleh
Lembaga Keuangan Syariah selama ini.[2]
3.
Hukum
transaksi bai tawarruq dan relevansinya pada ekonomi islam
Ada dua pendapat dikalangan para ulama tentang
hukum At-Tawarruq ini :
A.
Hukumnya adalah boleh. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan
pendapat Iyas bin Mu’awiyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini
yang dikuatkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baz sebagaimana dalam Taudhihul Ahkam (4/398), Syaikh Sholih
Al-‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (8/232) dan Al-Mudayanah, Syaikh Sholih
Al-Fauzan dalam Al-Farq Bainal Bai’i war Riba fii Asy-Syari’atul Islamiyah dan
dalam Al-Muntaqo dan keputusan Majlis Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy sebagaimana
dalam Taudhihul Ahkam (4/399-400).
Syarat
diperbolehkannya Tawarruq adalah sebagai berikut :
a) Sebelum dijual ke
nasabah, barang tersebut sudah benar-benar dimiliki oleh pihak bank.
b) Sebelum nasabah menjualnya kembali, ia harus
sudah menerima barang tersebut secara legal.
c) Tidak boleh untuk menjualnya kembali kepada
pihak bank, ataupun pihak lain yang masih bagian dari pihak bank karena
akan menjadi ba’I inah.
d) Tidak dilarang, apabila bank sebagai agen
untuk menjualkan barang tersebut, akan tetapi yang dilarang ialah ketika pihak
yang akan membeli (pihak ketiga) sudah memiliki kesepakatan terlebih dahulu
baik dengan pihak nasabah ataupun bank, dan pembuatan kontrak agensi untuk
menjualkan ini harus berbeda atau dilakukan setelah kontrak jual beli pertama
antara bank dan nasabah telah terjadi.
B. Hukumnya adalah haram.
Ini adalah riwayat kedua dari Imam Ahmad dan pendapat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
serta dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan fatwa
Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia yang disebutkan dalam kitab 99 tanya-jawab
dalam jual beli dan bentuk-bentuknya.
Alasan dilarangnya adalah sebagai berikut :
a.
Karena dianggap ada unsur pemaksaan untuk menjualnya kembali,
sebagaimana yang dikatakan oleh sayyidina Ali : Rasulullah SAW melarang jual
beli dengan terpaksa , gharar , dan menjual buah sebelum masaknya .
b. Tawarruq adalah bagian
dari Riba, sebagaimana dikatakan Umar bin Abdul Aziz : “Tawarruq adalah bagian
dari Riba “.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Para Ulama masih berdebat mengenai transaksi
tawarruq. Pada transaksi tawarruq fighi, transaksi nya adalah murni jual beli,
di mana ada pemindahan kepemilikan barang, sementara praktek dari tawarruq
munazam yang di lakukan oleh beberapa Bank Syariah pada saat ini, adalah sebuah
process untuk mendapat kan uang tunai di mana transaksi jual beli nya hanya di
atas kertas dan tidak ada perpindahan aset, yang arti nya praktek tawarruq
munazam sudah melanggar prinsip syariah yang utama yaitu:” seseorang tidak
dapat menjual barang yang tidak di miliki oleh nya”. Oleh sebab itu transaksi
ini tidak di izin kan oleh Islamic Figh Academy Jeddah pada resolusi nya yang
ke 17. Bai dikatakan masih relevan diterapkan dengan catatan tidak bertentangan
dengan hokum serta serta tidak ada unsur ligitasi terhadap riba.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah,
Jakarta. Prenada Media Group.
Comments
Post a Comment